Tuesday, August 01, 2006

Harga Segelas Air

Suatu hari, di istananya, Khalifah Harun al-Rasyid merasa haus. Ia memanggil seorang pengawalnya untuk mengambilkan segelas air. Dengan santun pengawal itu menyerahkan segelas air kepada Harun al-Rasyid. Sesaat sebelum Khalifah meminumnya, sang pengawal bertanya:
"Khalifah, bagaimana seandainya Tuan Khalifah tidak menemukan segelas air padahal dalam keadaan haus? Sudah dicari kesana kemari namun tidak ditemukan. Tiba-tiba ada seseorang yang mengantarkan segelas air pada Tuan Khalifah namun ia meminta agar air ini di barter (ditukar) denganb separuh dari istana Tuan. Bagaimana Tuan?"
Harun al-Rasyid diam sejenak. Ia berfikir dan merenung. Kalau ia tak merelakan separuh dari istananya untuk ditukar dengan segelas air, maka ia akan kehilangan nyawa. Pilihannya hanya satu, setngah istana yang megah ini atau nyawa? Akhirnya dengan sangat terpaksa Khalifah menyatakan bahwa ia memilih segelas air daripada kehilangan nyawanya.
"Kalau demikian, silakan Tuan minum" pengawal mempersilakan dengan hormat.
Harun al-Rasyid kemudian meminum air itu perlahan sampai semuanya masuk membasahi tenggorokannya. Setelah itu, Harun al-Rasyid mengembalikan gelas yang kosong pada pengawalnya.
Sang pengawal menerima gelas itu dengan penuh hormat. Sejurus kemudian ia bertanya lagi, "Tuan, bagaimana jika air yang Tuan minum tadi tidak dapat dikeluarkan berhari-hari? Sudah dicari tabib (dokter) kemana-mana tapi tidak bertemu. Sampai akhirnya ada seorang laki-laki yang mengatakan mampu mengeluarkan air tersebut dengan syarat Tuan membayarnya dengan setengah dari istana ini. Bagaimana Tuan?
Kali ini, Harun al-Rasyid benar-benar terdiam. Tadi, ia telah kehilangan setengah istananya karena menginginkan segelas air. Sekarang ia harus kehilangan setengahnya lagi untuk mengeluarkan air itu. Bagaimana mungkin aku bisa kehilangan seluruh kekayaanku hanya karena segelas air? Tapi, apa manfaatnya istana yang luas ini jika aku kehilangan nyawaku?
Harun al_rasyid benar-benar bingung. Namun dengan tenang ia mengatakan, "Ya, akan kuberikan setengah istana ini untuk siapapun yang bisa mengeluarkan segelas air yang telah ku minum."
Sang pengawal, dengan santun berkata, "Tuan, nikmat Allah ternyata begitu besar. Seluruh istana Tuan ini sesungguhnya tidak lebih berharga dari segelas air pemberian Allah."
Subhanallah...
Saudara ku, semoga kita termasuk hamba-hamba Allah yang senantiasa bersyukur dengan segala nikmat pemberian-Nya, walau sekecil apapun ia dalam pandangan kita. Ingatlah, terlalu banyak nikmat Allah yang sudah tercurah buat kita. Wallahu a'lam

M. Iqbal Irham

MEMBANGUN KECERDASAN SPIRITUAL

  1. Apakah yang dimaksud dengan kecerdasan spiritual menurut pemikir barat?
  2. Bagaimanakah konsep Islam tentang kecerdasan spiritual?
  3. Apakah perbedaan mendasar antara konsep kecerdasan spiritual Islam dengan Barat?
  4. Apakah perbedaan kecerdasan spiritual dengan kecerdasan intelektual dan emosional?
  5. Bagaimana aspek spiritual dalam ibadah (rukun Islam) dan kegiatan sosial dapat dijelaskan?
  6. Mengapa sebagian orang hanya cenderung kepada kecerdasan intelektual dan atau emosional saja atau hanya kepada kecerdasan spiritual saja?
  7. Mengapa kecerdasan intelektual dan emosional harus diimbagi dengan kecerdasan spiritual?

    Kecerdasan spiritual, menurut Ian Marshall dan Danah Zohar, adalah kecerdasan untuk memahami dan menangkap makna dan menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas, atau suatu kecerdasan untuk menilai potensi dan kemampuan yang luar biasa untuk memahami hakikat bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna daripada orang lain. Dalam riset dua tokoh tersebut ditemukan bahwa terdapat apa yang disebut God-Spot dalam otak manusia yang merupakan pusat spiritual yang terletak di antara jaringan syaraf dan otak. Inilah yang mengikat pengalaman hidup manusia menjadi sesuatu yang bermakna.
    Dalam Islam kecerdasan spiritual, menurut Ary Ginanjar Agustian, adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui pemikiran dan langkah-langkah yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya (hanif) dan memiliki pemikiran Tauhidi (integralistik), serta berprinsip “hanya karena Allah”. Dalam Islam inti kecerdasan spiritual terdapat dalam ajaran tentang keimanan (Rukun Iman) dan ajaran tentang ibadah ritual (Rukun Islam). Semakin tinggi kualitas penghayatan, pemahaman, dan pengamalan Rukun Iman dan Rukun Islam, maka semakin tinggi pula kecerdasan spiritual seseorang. Menurut ahli sufi di dalam diri manusia ada “ruang kosong,” yang harus kita isi dengan hal-hal yang baik. Jika kita tidak mengisinya dengan hal-hal yang baik, maka ruang kosong itu, otomatis akan diisi dengan hal-hal yang buruk”. Dalam sebuah roda, ruang kosong adalah yang menjadikannya sebagai roda. Metafor ini bisa dipakai untuk manusia, “ruang kosong” itulah yang menjadikannya berarti secara spiritual sebagai manusia. Ruang kosong inilah agaknya yang disebut Gid-spot menurut teeori kecerdasan spiritual Barat tersebut.
    Perbedaan mendasar antara teori kecerdasan spiritual (SQ) Barat dengan Islam adalah: SQ Barat tidak menjangkau ketuhanan, dan tidak bersifat transendental. Pembahasannya baru sebatas tingkat biologi dan psikologi semata, sementara SQ dalam Islam jelas berkaitan langsung dengan Ketuhanan dan bersifat transendental, jadi tidak sekedar pembahasan dalam ruang lingkup biologi dan psikologi saja. Karena itu pembahasan SQ Barat mengalami kebuntuan. Misalnya dalam teori tentang God Spot sebagai pusat spiritual manusia menurut Barat terdapat suara hati. Akan tetapi penulis Barat tidak mampu menjelaskan apa saja jenis-jenis suara hati tersebut. Dalam Islam God Spot yang di dalamnya terdapat suara hati itu dapat dijelaskan, misalnya dengan melihat penjelasan makna-makna istilah “hati” yang dalam agama Islam digambarkan dengan berbagai nama, qalb, fu`ad, lubb, sirr, `aql, dan sebagainya.
    Kecerdasan emosional adalah kecerdasan yang berkaitan dengan kemampuan orang mengendalikan suasana mental dan emosionalnya dan menyalurkannya secara positif dalam interaksi dengan manusia lain di sekelilingnya. Kecerdasan emosional, dalam Islam, tekandung dalam ajaran tentang Akhlak kepada sesama manusia. Terdapat beberapa perbedaan penting antara kecerdasan spiritual (SQ) dengan kecerdasan emosional (EQ), yaitu: 1) SQ bersifat transenden karena menyangkut hubungan makhluk dengan Khaliknya, sedangkan EQ bersifat imanen, karena menyangkut hubungan dengan sesama manusia; 2) SQ berorientasi ke akhirat dan bersifat abadi, sedangkan EQ berorientasi keduniaan dan bersifat temporer; 3) SQ mendukung kesuksesan di akhirat, sedangkan EQ mendukung kesuksesan seseorang di dunia.
    Ibadah-ibadah ritual yang tercakup dalam Rukun Islam jika dilaksanakan secara konsekuan dengan pemahaman dan penghayatan akan menghasilkan kecerdasan spiritual. Sementara itu amal-amal atau kegiatan sosial juga akan menghasilkan kecerdasan spiritual jika dilakukan secara ikhlas dengan niat hanya karena Allah dan memandang nya semata-mata sebagai bentuk ibadah kepada Allah. Salah satu contoh Ibdah ritual adalah Ibadah puasa. Dalam sebuah Hadits Qudsi Allah berfirman, “Puasa adalah untuk-Ku semata, dan Akulah yang menanggung pahalanya”. Hadits ini mengisyaratkan bahwa puasa secara esensial hampir sepenuhnya bersifat rohani, menyangkut hubungan spiritual kita sebagai hamba dengan Allah SWT. Al-Qur’an menggambarkan maksud kewajiban puasa adalah agar kita menjadi takwa. Ketakwaan --yang berarti kita merasakan hadirnya Tuhan dalam hidup sehari-hari—yang kemudian mendorong kita untuk berempati terhadap mereka yang hidup dalam kekurangan adalah salah satu wujud kecerdasan spiritual itu.
    Kebanyakan manusia moderen, terutama di Barat terlalu cenderung mementingkan aspek kecerdasan intelektual dan emosional belaka. Mengapa demikian? Alasannya antara lain adalah karena manusia moderen meyakini bahwa potensi kecerdasan intelektual dan emosional inilah yang membawa keberhasilan dan kemajuan dalm hidup. Kebanyakan mereka mengukur keberhasilan hanya dari segi kebendaan/ materi semata. Sebagian dari mereka tidak menyadari bahwa kehidupan manusia bukan hanya kini dan di sini (duniawi), tetapi juga nanti dan di sana (akhirat). Sebaliknya terdapat pula orang-orang yang hanya cenderung kepada hal-hal spiritual dan memandang rendah hidup duniawi dan kebendaan.
    Jika seseorang hanya mementingkan kecerdasan intelektual dan emosional saja, maka lambat laun ia akan mengalami jalan buntu, sebab bagaimanapun pintarnya seseorang dan pandainya ia bergaul, tidak semua persoalan hidup mampu ia temukan jawabannya. Akal manusia mempunyai keterbatasan-keterbatasan, demikian pula relasi antara manusia dengan manusia lainnya. Pada akhirnya manusia dapat saja menjadi frustasi, cemas, tertekan, dan sebagainya. Sebaliknya jika seseorang hanya mementingkan zikir dan mengasah kecerdasan spiritual belaka, maka ia akan teralienasi dari lingkungan dan tertinggal dengan berbagai kemajuan yang telah dicapai oleh orang lain. Agar kualitas kehidupan kita benar-benar maksimal, baik untuk kepentingan dunia maupun akhirat, maka kecerdasan intelektual dan emosional perlu diimbangi dengan kecerdasan spiritual atau sebaliknya. Dalam sebuah hadits rasulullah SAW bersabda: “Bukanlah sebaik-baik kamu orang yang bekerja untuk dunianya saja tanpa akhiratnya, dan tidak pula orang-orang yang bekrjauntuk akhiratnya saja dan meninggalkan dunianya. Dan sesungguhnya, sebaik-baiknya kamu adalah orang yang bekerja untuk (akhirat) dan untuk (dunia).” (Al-Hadits)

    Kesimpulan
    Kecerdasan spiritual memungkinkan seseorang memaknai kehidupannya secara arif dan benarm sesuai dengan tuntunan Ilahi. Ia bersifat transenden. Sedangkan kecerdasan emosional menyangkut kemampuan dalam berinteraksi secara baik dengan sesama manusia, tetapi bersifat keduniaan dan temporer. Agar kehidupan manusia lebih bermakna baik di dunia maupun di akhirat kedua kecerdasan ini harus ada dalam setiap pribadi. Bila hanya mementingkan salah sau saja, maka akan lahir ketidakharmonisan dalam kehidupan.

    Khairul Fuad